Pengajar bahasa : di antara Struktural dan Fungsional

Sampai saat ini, di kepala saya masih tergiang omelan seorang profesor terhadap saya.
Ceritanya begini ...
     Di suatu sidang yang menyeramkan, saya mendapat kritikan tajam tentang penghilangan fonem k bila bertemu afiks me(Nasal)-. Maksudnya adalah jika sebuah kata yang berawalan k, seperti kupas, kecam, kirim, dan lain-lain bertemu dengan afiks meN-, luluhlah k dan meN- menjadi meng-. Proses ini disebut morfofonemik dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yang telah saya sebutkan tadi akan menjadi mengupas, mengecam, mengirim, dan lain-lain.
    Nah, masalah yang timbul adalah banyak penutur asli bahasa Indonesia tidak mengikuti kaidah tata bahasa yang ada. Mereka seenaknya memakai bahasa tanpa menghargai peraturan yang ada. Di samping itu, sebagai pemilik bahasa, para linguis bahasa Indonesia memiliki prinsip terpecah. Mereka terdiri atas aliran strukturalis dan fungsionalis, ada yang merasa bahwa bahasa harus sesuai kaidah (struktrural), ada yang merasa bahasa tergantung pada penutur (fungsional). Terkadang, kedua kubu dapat memecahkan dan menyetujui masalah bahasa secara bersama, terkadang ada yang tidak bisa diselesaikan bersama. Oleh karena itu, sebagai pengajar bahasa Indonesia, saya merasa harus ada di tengah mereka.
     Seperti yang terjadi pada sidang saat itu, saya habis dimarahi oleh seorang profesor karena menulis kata kode menjadi mengkodekan. Saya menulis kata itu secara konsisten. 
       Profesor bertanya: bagaimana seharusnya penulisan mengkodekan?
       saya menjawab    : k di sana seharusnya luluh, namun kata kode berasal dari bahasa asing sehingga
                                    penulisannya belum pasti luluh atau tidak (menjawab berdasarkan pengetahuan  
                                    fungsional saya: seperti pada kata mengkoordinasikan, mengkampanyekan,
                                    mensosialisasikan, dll).
       Kemudian, saya bertanya kepada seorang doktor linguis bahasa Indonesia yang lain :
                                   Bapak bisa membantu saya? 
       Dia menjawab :     asal Anda konsisten, itu tidak menjadi masalah.
Namun, apa yang terjadi saudara-saudara? Profesor itu menggebrak meja dan dengan tegasnya mengatakan bahwa saya harus mengikuti kaidah yang ada. Saya terdiam! Selama satu jam, si profesor hanya menanyakan masalah bahasa kepada saya dan bahasa yang ditanyakan pun sangat substansi dari bahasa tersebut, padahal kasus saya jelas jauh dari linguistik murni... Dari sini saya belajar bahwa ada kalanya saya harus menjadi bunglon terhadap orang yang saya hadapi. Hal ini berarti mengalah pada prinsip saya sendiri. Saya belajar bahwa saya dididik dengan cara yang keras, ada kalanya tidak perlu berargumen terhadap seseorang.     
     Kembali ke permasalahan k, ada kalanya kita harus mengikuti kaidah yang ada, ada kalanya kita harus mengikuti arus kekuasaan penutur. Sementara saya, saya akan tetap berada di tengah, memberitahukan  kaidah yang benar dan pemakaiannya dalam berkomunikasi. Akan baik bila menyatu, akan baik pula jika terdapat perbedaan, asalkan semuanya dapat bersatu dan damai :-)  
  

Komentar