/cayna/ atau /cina/?

Sebenarnya, topik ini agak basi dibicarakan. Namun, tidak ada salahnya berbagi pengalaman dengan teman-teman.
Satu tahun yang lalu, saya mengajar di kelas penulisan ilmiah BIPA. Di kelas saya, ada 6 orang peserta yang berasal dari RRC. Mereka terdiri atas 4 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Ketika saya pertama kali masuk ke dalam kelas, saya meminta mereka memperkenalkan diri. Setelah sesi perkenalan, saya mulai masuk ke materi ajar. Di kelas, kami berbagi pengalaman tentang tulisan dari negara masing2.Ketika saya memanggil seorang mahasiswa, saya bertanya "ya Leo, bagaimana tentang tulisan di /cina/?" Tak disangka dia bertanya kepada saya dengan intonasi marah "Ibu, kenapa Anda mengatakan negara saya /CINA/ bukan /CAYNA/? Ketika itu saya terkejut. Kemudian saya bertanya kepadanya "Mengapa? Apakah Anda ada masalah?" Dia berkata "Apakah ibu tahu nilai historis dari kata /cina/? Apakah ibu tahu kalau kata itu menunjukkan hal yang buruk bagi bangsa RRC?" Jujur saja, saya baru sekali mendengarkan pertanyaan itu. Ketika seminar di kampus tahun 2010, saya pernah mendengar seseorang menyampaikan pengalamannya bahwa ia pernah bertengkar hanya karena menyebut kata /cina/ kepada temannya. Sekarang hal itu terjadi pada saya. Kemudian, saya menjawab bahwa saya mengatakan kata /cina/ semata-mata bahwa bahasa indonesia tidak mengenal /ay/ untuk melafalkan i. Dia tetap tidak terima dengan pernyataan saya. Dia bertanya lagi "Apakah ibu tahu sejarah antara /Cayna/ (bangsa RRC)dan /Indonesia/?" Kala itu di kelas, semua peserta hanya terdiam, saya melihat hanya satu orang belanda yang senyum-senyum mendengarnya. Kemudian, saya berkata "oke, Anda ingin saya bagaimana?" Dia berkata lagi "Jika Anda orang intelektual, seharusnya Anda mencontohkan kepada orang-orang lain di Indonesia untuk melafalkan /cayna/ bukan /cina/. Saat itu saya sedikit marah, tetapi saya memahami perasaan seseorang yang tinggal di negeri orang lain. Kemudian, saya berkata "oke, peserta yang lain bagaimana? untuk saat ini, saya akan menggunakan kata /cina/, setelah kelas ini saya akan mendiskusikan hal ini kepada kepala program atau dosen lainnya."
Percakapan ini berhenti dan kuliah berjalan sampai akhir. Setelah kuliah usai, saya bertanya kepada para pengajar lain. Di antara orang-orang yang saya tanyakan termasuk kepala program, mereka semua tidak sepakat dengan kalimat si peserta tersebut. Alasannya adalah lafal orang Indonesia tidak seperti itu dan setiap negara memiliki kebebasan untuk menamai negara lain sesuai lafal mereka. Seperti Orang Korea menyebut bangsa Amerika= Migug, Orang Jepang menyebut Brazil=Burajiru, dan lain-lain. Oke, itu cukup untuk alasan berargumentasi untuk saya.
Besoknya, saya masuk ke kelas lain, yaitu kelas membaca. Saat itu kami sedang membahas bacaan tentang ragam budaya yang menjaga keaslian budaya mereka. Di kelas itu, ada seorang bapak yang berasal dari Hong Kong. Saya sengaja bertanya kepada bapak itu,"bagaimana Pak di /cayna/?" bapak itu tersenyum dan menjawab "ibu, tidak ada kata /cayna/ tidak perlu berkata seperti itu dan /cayna/ berbeda dengan Hong Kong." Hahahaa! Saya tertawa sendiri.
Sudahlah cukup bagi saya. Saya harus menentukan sikap untuk diri saya. Saya butuh ahli bahasa Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini! Ternyata, ahli bahasa yang saya temui juga berbeda pendapat. Ada yang mengatakan /cayna/ ada yang mengatakan /cina/. Selain itu, sampai saat ini, ada beberapa media cetak dan elektronik yang menggunakan kata /cayna/. Bahkan, di beberapa lingkungan akademis juga mulai memopulerkan kata /cayna/. Sementara saya, dalam hal ini saya memilih memegang teguh lafal bahasa Indonesia, yaitu /cina/. Jadi ingat celetuk teman, "kita ke Pondok /cayna/ yuk?"

Nb: Pondok Cina adalah salah satu kawasan di Depok.

Komentar