pemelajar atau pembelajar???

Pemelajar atau pembelajar....yaaa hhooaaammm...zzzz. Pertanyaaan itu lagi yang ditanyakan orang-orang kepada saya. Sebenarnya saya agak alergi menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan terjemahan kata, tetapi apa boleh buat karena saya mempelajari bahasa Indonesia. Kalau dihitung-hitung, Anda mungkin orang yang ke-100 sekian yang bertanya kepada saya. Baiklah saya coba menjawabnya dengan singkat dan jelas...(mungkin)
1. Waktu saya belajar di S1, saya memahami bahwa afiks pe- dipakai sebagai pembentuk nomina. Afiks pe- pada umumnya memiliki makna orang yang me- atau orang yang ber-. Seperti pada contoh penulis (orang yang menulis), penari (orang yang menari), pelajar (orang yang belajar), pejalan kaki (orang yang berjalan kaki), dan lain-lain.
2. Selain itu, afiks pe- juga menyatakan makna orang yang suka, seperti perokok (orang suka merokok), orang yang suka mabuk (pemabuk). Ada juga yang bermakna orang yang bersifat, seperti penakut (orang yang bersifat takut), pemarah (orang yang suka marah), dan lain-lain.
3. Afiks pe- juga bermakna alat untuk me-, seperti penghapus (alat untuk menghapus),penggaris, pendingin udara, dll. Namun, kadang-kadang kata AC lebih populer daripada pendingin udara karena lebih mudah aja pengucapannya.(prinsip ekonomis bahasa).
Secara umum, pemahaman pe- seperti itu. Namun, bagaimana dengan pemelajar dan pembelajar? Menurut KBBI, pembelajar adalah orang yang belajar. Hampir semua orang biasanya menggunakan kata pembelajar untuk menunjukkan orang yang belajar (dibedakan dengan pelajar yang bermakna orang yang belajar di SD--SMA). Setiap kesempatan seminar yang saya ikuti, penggunaan kata pembelajar dipakai untuk menyatakan orang yang untuk belajar. Namun, hal ini sedikit berbeda dengan yang saya pelajari di kuliah S2 saya. Seorang dosen menjelaskan bahwa pembelajar bermakna orang yang membelajarkan = guru (bingung???? sama!!!)
Sementara itu, Beliau mengatakan bahwa untuk menyatakan orang yang belajar bahasa Indonesia adalah pemelajar bahasa Indonesia(dari makna orang yang mempelajari bahasa Indonesia). Heeeee.....
Oke, semua saya terima dengan ikhlas. Namun, ketika saya sidang dan dihadapkan oleh dua penguji berbeda aliran (di UI banyak aliran yang dianut dosen-dosen), kata pemelajar dipertanyakan lagi. Saya hanya menjawab bahwa saya hanya mendapat apa yang saya terima di kuliah. Jadi intinya, saya terjebak di antara dua aliran yang berbeda. Jadi, saya maju saja dengan tetap memakai kata pemelajar.
Setelah berada di luar kuliah, kalau seseorang bertanya kepada saya mana kata yang benar pembelajar atau pemelajar. Saya akan menjawab terserah Anda ingin memakai yang mana, bergantung pada kesepakatan. Karena kedua bentuk itu dapat dipakai, kita hanya melihat bagaimana kedua kata tersebut dapat bersaing satu sama lain. Seperti pada kata kelautan dan perlautan, atau pada nomina lainnya yang berubah-ubah setiap saat bergantung pada pemakaiannya di luar. Saya jadi ingat perkataan bapak Umar Muslim, Ph.D, Jangan mengkakukan bahasa, biarkanlah bahasa itu dinamis dan mengalir apa adanya agar dia tidak mati....

Komentar

  1. Yaaa...aliran yang menjaga keutuhan alurnya. Ibarat coin, 2 in 1. (klo shampoo ya 3 in 1)..
    Memang pertanyaan spt ini sering kali menjebak..
    tapi klo spt keterangan di atas pembelajar (guru????) terus kata "pengajar"?
    Memang, ini hadir dari kata "Learner" yang dulu belajar sama Prof. Yayu..Menurut Beliau adalah pemelajar...
    Skali lagi...memang bahasa itu harus dinamis, tapi harus dicari juga standarnya bukan...(makin bingung nih w..) Nice discussion!

    BalasHapus
  2. Memang agak kacau ketika menurunkan verba menjadi nomina. Bahasa Indonesia itu memang baru dan seharusnya para linguis bahasa Indonesia memikirkan hal ini. Coba kita lihat kata mempelajari jika dijadikan nomina memang menjadi pemelajar. Pembentukan kata ini sama dengan memperhatikan => pemerhati (orang yang memperhatikan). Namun, bagaimana menominakan verba membelajarkan? Orang yang membelajarkan bukan hanya guru, pemerintah, stakeholder (pemangku kepentingan) juga bisa membelajarkan orang lain.Jadi yang saya maksudkan di sini, pembakuan terhadap nomina belum jelas.
    pengajar bisa dipakai untuk orang yang mengajar, tetapi bagaimana dengan pelajar (kata ini disepakati untuk orang yang belajar mulai dari SD sampai SMA) entah darimana konvensi ini. Selain itu, kita mengenal kata mahasiswa atau mahasiswi. Kata ini dipakai untuk orang yang belajar di jenjang setelah SMA. siswa atau siswi dipakai untuk orang yang belajar mulai SD sampai SMA. Selain itu, kata siswa dan siswi muncul untuk membedakan jenis kelamin. Namun,konvensi ini menjadi tau sama tau. Belum ada standarnya. Lagipula, belum ada juga kamus pengajaran bahasa Indonesia. Yah ...begitulah kalau lahir di zaman yang segalanya sedang berkembang... :) thanks juga

    BalasHapus
  3. Menarik pembahasannya, saya, sebagai penerjemah bahasa Indonesia (Inggris-Jepang-Bahasa Indonesia) terkadang bingung yang mau dipakai yang mana, apakah menurut kaidah sesuai (EYD), dimana tidak banyak orang mengetahui (ada kemungkinan orang malah menjadi bingung), atau mengikuti aturan tidak tertulis dan perasaan batin (dimana yang enaknya saja seperti apa), pada akhirnya, supaya pelanggan mengerti, saya lebih memilih bahasa gaul/yang enak didengar untuk kaum diluar akademis, dan menggunakan bentuk baku (sekalipun tidak enak didengar dan dirasakan) dalam lingkungan akademis.

    Mungkin hal ini juga yang membuat banyak orang Indonesia, dalam hal ini juga para mahasiswa yang belajar bahasa membenci mata kuliah Bahasa Indonesia (saya belajar sastra Jepang). Saya sendiri bersama teman-teman seangkatan membenci mata kuliah Bahasa Indonesia dengan sepenuhnya, padahal dosennya seorang yang sangat pintar (bahkan profesor, doktor), dan sudah mengarang buku (yang katanya menjadi acuan/standar bahasa Indonesia yang baik dan benar), karena entah, cara mengajarnya, atau memang 'Bahasa Indonesia Akademis' yang kaku dan tidak dinamis. Kami merasa seperti dipandang rendah, dan saya merasa, beliau sebagai dosen seperti seseorang yang "menunjukkan kesalahan", tanpa memberikan contoh bagi kita generasi muda (dalam satu kelas tidak ada yang mengerti yang diajarkan beliau).

    Selain standarnya belum jelas dan berkembang, komunikasi dan sosialisasi mengenai bahasa Indonesia masih sangat kurang, ditambah budaya Indonesia yang kurang populer di kacamata orang Indonesia itu sendiri (malah orang asing terkadang lebih memahami, coba lihat kamus-kamus yang beredar, khususnya yang dwibahasa, sebagian besar banyak yang dikarang oleh "orang luar" dan bukan orang Indonesia.

    Saya berharap, bahasa Indonesia bisa dikembangkan dimulai dari budaya kita, nilai-nilai yang luhur dan menggabungkannya dengan budaya populer yang berkembang di masyarakat sehingga generasi muda Indonesia mau membantu mengembangkan bahasa Indonesia (dan budayanya). Yang saya lihat dan heran, saat ini Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia, dan penutur kita juga ada banyak (hingga mencapai 200 juta), ditambah bahasa Melayu (yang memiliki rumpun yang sama), namun kenyataannya di dunia kerja, di pasar luarnegeri, bahasa Indonesia bernilai rendah (dan jarang digunakan dalam forum-forum internasional), padahal bahasa Indonesia menurut banyak pembelajarnya (pemelajar? xD), adalah salah satu bahasa yang termudah untuk dipelajari di dunia.

    BalasHapus
  4. Ini yang saya cari-cari. Selalu menggunakan kata pembelajar, tapi setelah browsing-browsing ternyata pemelajar.
    Kalau udah dikehidupan nyata, pembelajar lebih mudah dipahami daripada pemelajar, yang dikira salah ketik. he..he..

    BalasHapus
  5. Sering salah kaprah. Dulu sering banget bangga jadi pembelajar. Ternyata yang benar adalah pemelajar. Meski agak aneh, tapi harus sering dibiasakan.
    Terimakasih artikelnya sangat bermanfaat

    BalasHapus

Posting Komentar